Selasa, 16 September 2014

Api yang Menyala di Tubuh Manarfa

Api yang Menyala di Tubuh Manarfa


Di dalam darahnya, bukan hanya ada sungai berwarna biru, tetapi juga ada darah Oemar Bakri, Ki Hajar Dewantara, Montessori, berbaur menjadi sebuah lautan yang dahsyat. Di dalam darahnya, kata pendidikan mengalir ke jantungnya dan menjadi pompa dalam kehidupannya yang kini mencapai 85 tahun. 

Entah apa jadinya dunia pendidikan di Sulawesi Selatan dan Tenggara tanpa nama La Ode Manarfa. Dia menjadi legenda hidup dunia pendidikan tinggi di Sulawesi bukan hanya karena separuh umurnya dihabiskan untuk mendirikan dan mengembangkan kemajuan pendidikan-seperti Universitas Hasanuddin-di daerahnya, tetapi juga karena dialah contoh keturunan bangsawan yang memilih hidup bersahaja dan berkeliling Sulawesi untuk tak henti-hentinya mendirikan universitas bagi rakyat Sulawesi, sekaligus menjadi satu-satunya pengajar tertua yang masih bersemangat memberikan kuliah dalam keadaan tubuh yang renta. 

Lahir di Kulisusu, Kota Madya Baubau, Sulawesi Tenggara, 22 Maret 1917, Manarfa adalah putra tertua Sri Sultan Buton ke-38, La Ode Falihi Qaimuddin Khalifatul Khamis. Sang ibu, Wa Ode Azizah, anak dari Lakina Sorawolio yang masih keturunan Raja Buton I. 

Karena itulah, beberapa orang menganggapnya sebagai sultan terakhir Keraton Buton. Setelah meraih gelar sarjana di bidang Indologie (ilmu tentang Indonesia) dari Verenigde Vakultaiten Universiteit Leiden, Belanda, pada 1952, Manarfa Ode menjadi sarjana pertama di wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara.

 Empat tahun kemudian, bersama beberapa rekannya, Manarfa mendirikan Universitas Hasanuddin. Wa Ode Daawia, istri Manarfa, masih ingat bagaimana susahnya perjuangan sang suami ketika itu.
 Indonesia baru saja merdeka. Kehidupan serba terbatas dan hanya pulau Jawalah yang dianggap makmur dan menjadi pusat dari segala kegiatan. Pulau lain seperti Sulawesi tergolong terbelakang.

 Tapi Manarfa tak mudah menyerah. Ia merogoh kocek sendiri demi suatu kegiatan yang kurang populer dan kurang komersial ketika itu. Berapa jumlahnya? Manarfa enggan menjawabnya. "Prinsip saya, jika tangan kanan memberi, tangan kiri tak perlu tahu," katanya. Sumbangan Manarfa bukan cuma dana, tapi juga ide. Dialah yang mengusulkan agar Universitas Hasanuddin, perguruan tinggi terbesar di Sulawesi Selatan itu, menggunakan gambar ayam jantan sebagai lambang. 

Manarfa bercerita, gambar ayam jago itu tercetus dalam sebuah rapat menentukan logo Universitas Hasanuddin. "Saya teringat pada perjuangan Sultan Hasanuddin yang dijuluki 'Ayam Jantan dari Timur' sewaktu mengusir Belanda dari Makassar," kata Manarfa. Menyadari betapa pendidikan kemudian membawa Sulawesi melangkah begitu pesat, Manarfa mendirikan Universitas Sulawesi Tenggara di Kabupaten Buton pada 1960.

          Tapi perguruan tinggi ini terpaksa dipindahkan ke Kendari, seiring dengan terlepasnya Provinsi Sulawesi Tenggara dari Sulawesi Selatan pada 1964. Tak tanggung-tanggung, semua fasilitas Universitas Sulawesi Tenggara yang dibeli Manarfa dengan uang pribadi juga diangkutnya ke Kendari.

 Setelah pindah, Universitas Sulawesi Tenggara berganti nama menjadi Universitas Haluoleo, dengan status swasta. Status ini baru berubah menjadi universitas negeri pada 1981, juga karena perjuangan Manarfa. Tetapi Manarfa bukanlah sosok yang membutuhkan posisi, jabatan, apalagi uang.

          Meski sebagai pendiri ia memiliki peluang yang luar biasa besar untuk menjadi rektor pertama di Universitas Haluoleo, ia memilih pulang ke Buton dan lagi-lagi menanam bibit baru.Dia mendirikan Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan) bersama La Ode Malim pada 1982. Tak hanya menanam dan menumbuhkan berbagai universitas, Manarfa juga bersemangat mengajar. 

Hingga saat ini Manarfa tercatat sebagai pengajar sekaligus Rektor Unidayan. Dialah satu-satunya dosen tertua di antara 930 dosen di empat perguruan tinggi yang ada di seluruh pelosok Sulawesi Tenggara. Bisa jadi dia dosen tertua di negeri ini. Sekali dalam sepekan, ia mengajar mata kuliah pendidikan akhlak dan budaya. Staminanya sungguh luar biasa. 

Syahdan, pada Agustus silam, reporter TEMPO menyaksikan sendiri bagaimana Manarfa berdiri dan berceramah memberikan kuliah perdana kepada para mahasiswa baru Unidayan selama tiga jam tanpa henti.
 Di dalam tubuh yang digerogoti 85 tahun kehidupan, toh jiwanya berkelojotan setiap kali para mahasiswanya berlomba-lomba mengajukan pertanyaan menyangkut materi perkuliahan yang diberikan. "Orang tua itu seperti tak pernah kehabisan energi," kata salah seorang koleganya kepada TEMPO.
Dengan energi yang luar biasa dan kegiatan pendidikan yang tak berkesudahan sepanjang hidupnya, Manarfa tak kunjung menggunakan lembaga pendidikan sebagai lembaga komersial, meski peluang itu sungguh besar. Tak mengherankan, dia merasa cukup bernaung di sebuah rumah warisan yang sederhana berisi dua set sofa yang mulai tua, televisi 21 inci, tiga buah guci yang sudah agak kusam.

Satu-satunya pemandangan yang mencolok di rumahnya adalah ribuan buku pelbagai tema yang tersusun rapi di rak-rak dan lemari yang menempel di dinding. Inilah yang menunjukkan bahwa dia seorang pendidik, pemikir yang hidup di alam ideal.

 Dia bahkan tak memiliki sebuah mobil pun hingga anaknyalah yang harus meminjamkan kendaraan dan sopir untuk mengantar ayahnya yang sudah renta itu. Dan di dalam kesederhanaannya itu, Manarfa juga masih menolak mengambil gajinya sebagai rektor. 

Menurut La Meta, bendahara Universitas Dayanu, setiap akhir bulan ketika disodori amplop gaji, Manarfa hanya meneken tanda terima lalu menyerahkan seluruh isinya ke kas universitas. "Ia bertekad menolak gaji dari Unidayan sampai perguruan tinggi dan semua karyawannya sejahtera," kata Meta. 

Apa lagi nama yang bisa kita berikan kepadanya selain Pendekar Pendidikan dengan api yang menyala-nyala? Tak mengherankan bila senat Universitas Haluoleo, Sulawesi Tenggara, akhirnya mengganjarnya dengan dua penghargaan sekaligus, pada 19 Agustus 2002.

 Menurut Rektor Universitas Haluoleo, Mahmud Hamundu, penghargaan itu diberikan karena Manarfa dianggap sebagai tokoh yang berjasa memajukan pendidikan di Sulawesi Tenggara, dan mengembangkan Universitas Haluoleo. Toh sang pendekar bisa rontok oleh stroke. 

Manarfa kini tengah tergolek lemah di atas ranjang ruang gawat darurat Rumah Sakit Edy Sabara, Kendari, Sulawesi Tenggara. Ketika TEMPO menjenguknya akhir Oktober silam, bersusah payah ia berusaha menyambut. 

Tubuhnya terlihat lemah. Tetapi sepasang matanya memperlihatkan semangat yang tak padam. "Sepanjang masih diberi kemampuan oleh Allah, kalau perlu hingga akhir hayat, saya akan terus mengabdikan diri pada dunia pendidikan," katanya pada pengujung jam berkunjung. Di ujung tubuhnya yang sudah kisut, ia masih memberikan nyala pada negeri ini.

Sumber :

Api yang Menyala di Tubuh Manarfa


Di dalam darahnya, bukan hanya ada sungai berwarna biru, tetapi juga ada darah Oemar Bakri, Ki Hajar Dewantara, Montessori, berbaur menjadi sebuah lautan yang dahsyat. Di dalam darahnya, kata pendidikan mengalir ke jantungnya dan menjadi pompa dalam kehidupannya yang kini mencapai 85 tahun. 

Entah apa jadinya dunia pendidikan di Sulawesi Selatan dan Tenggara tanpa nama La Ode Manarfa. Dia menjadi legenda hidup dunia pendidikan tinggi di Sulawesi bukan hanya karena separuh umurnya dihabiskan untuk mendirikan dan mengembangkan kemajuan pendidikan-seperti Universitas Hasanuddin-di daerahnya, tetapi juga karena dialah contoh keturunan bangsawan yang memilih hidup bersahaja dan berkeliling Sulawesi untuk tak henti-hentinya mendirikan universitas bagi rakyat Sulawesi, sekaligus menjadi satu-satunya pengajar tertua yang masih bersemangat memberikan kuliah dalam keadaan tubuh yang renta. 

Lahir di Kulisusu, Kota Madya Baubau, Sulawesi Tenggara, 22 Maret 1917, Manarfa adalah putra tertua Sri Sultan Buton ke-38, La Ode Falihi Qaimuddin Khalifatul Khamis. Sang ibu, Wa Ode Azizah, anak dari Lakina Sorawolio yang masih keturunan Raja Buton I. 

Karena itulah, beberapa orang menganggapnya sebagai sultan terakhir Keraton Buton. Setelah meraih gelar sarjana di bidang Indologie (ilmu tentang Indonesia) dari Verenigde Vakultaiten Universiteit Leiden, Belanda, pada 1952, Manarfa Ode menjadi sarjana pertama di wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara.

 Empat tahun kemudian, bersama beberapa rekannya, Manarfa mendirikan Universitas Hasanuddin. Wa Ode Daawia, istri Manarfa, masih ingat bagaimana susahnya perjuangan sang suami ketika itu.
 Indonesia baru saja merdeka. Kehidupan serba terbatas dan hanya pulau Jawalah yang dianggap makmur dan menjadi pusat dari segala kegiatan. Pulau lain seperti Sulawesi tergolong terbelakang.

 Tapi Manarfa tak mudah menyerah. Ia merogoh kocek sendiri demi suatu kegiatan yang kurang populer dan kurang komersial ketika itu. Berapa jumlahnya? Manarfa enggan menjawabnya. "Prinsip saya, jika tangan kanan memberi, tangan kiri tak perlu tahu," katanya. Sumbangan Manarfa bukan cuma dana, tapi juga ide. Dialah yang mengusulkan agar Universitas Hasanuddin, perguruan tinggi terbesar di Sulawesi Selatan itu, menggunakan gambar ayam jantan sebagai lambang. 

Manarfa bercerita, gambar ayam jago itu tercetus dalam sebuah rapat menentukan logo Universitas Hasanuddin. "Saya teringat pada perjuangan Sultan Hasanuddin yang dijuluki 'Ayam Jantan dari Timur' sewaktu mengusir Belanda dari Makassar," kata Manarfa. Menyadari betapa pendidikan kemudian membawa Sulawesi melangkah begitu pesat, Manarfa mendirikan Universitas Sulawesi Tenggara di Kabupaten Buton pada 1960.

          Tapi perguruan tinggi ini terpaksa dipindahkan ke Kendari, seiring dengan terlepasnya Provinsi Sulawesi Tenggara dari Sulawesi Selatan pada 1964. Tak tanggung-tanggung, semua fasilitas Universitas Sulawesi Tenggara yang dibeli Manarfa dengan uang pribadi juga diangkutnya ke Kendari.

 Setelah pindah, Universitas Sulawesi Tenggara berganti nama menjadi Universitas Haluoleo, dengan status swasta. Status ini baru berubah menjadi universitas negeri pada 1981, juga karena perjuangan Manarfa. Tetapi Manarfa bukanlah sosok yang membutuhkan posisi, jabatan, apalagi uang.

          Meski sebagai pendiri ia memiliki peluang yang luar biasa besar untuk menjadi rektor pertama di Universitas Haluoleo, ia memilih pulang ke Buton dan lagi-lagi menanam bibit baru.Dia mendirikan Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan) bersama La Ode Malim pada 1982. Tak hanya menanam dan menumbuhkan berbagai universitas, Manarfa juga bersemangat mengajar. 

Hingga saat ini Manarfa tercatat sebagai pengajar sekaligus Rektor Unidayan. Dialah satu-satunya dosen tertua di antara 930 dosen di empat perguruan tinggi yang ada di seluruh pelosok Sulawesi Tenggara. Bisa jadi dia dosen tertua di negeri ini. Sekali dalam sepekan, ia mengajar mata kuliah pendidikan akhlak dan budaya. Staminanya sungguh luar biasa. 

Syahdan, pada Agustus silam, reporter TEMPO menyaksikan sendiri bagaimana Manarfa berdiri dan berceramah memberikan kuliah perdana kepada para mahasiswa baru Unidayan selama tiga jam tanpa henti.
 Di dalam tubuh yang digerogoti 85 tahun kehidupan, toh jiwanya berkelojotan setiap kali para mahasiswanya berlomba-lomba mengajukan pertanyaan menyangkut materi perkuliahan yang diberikan. "Orang tua itu seperti tak pernah kehabisan energi," kata salah seorang koleganya kepada TEMPO.
Dengan energi yang luar biasa dan kegiatan pendidikan yang tak berkesudahan sepanjang hidupnya, Manarfa tak kunjung menggunakan lembaga pendidikan sebagai lembaga komersial, meski peluang itu sungguh besar. Tak mengherankan, dia merasa cukup bernaung di sebuah rumah warisan yang sederhana berisi dua set sofa yang mulai tua, televisi 21 inci, tiga buah guci yang sudah agak kusam.

Satu-satunya pemandangan yang mencolok di rumahnya adalah ribuan buku pelbagai tema yang tersusun rapi di rak-rak dan lemari yang menempel di dinding. Inilah yang menunjukkan bahwa dia seorang pendidik, pemikir yang hidup di alam ideal.

 Dia bahkan tak memiliki sebuah mobil pun hingga anaknyalah yang harus meminjamkan kendaraan dan sopir untuk mengantar ayahnya yang sudah renta itu. Dan di dalam kesederhanaannya itu, Manarfa juga masih menolak mengambil gajinya sebagai rektor. 

Menurut La Meta, bendahara Universitas Dayanu, setiap akhir bulan ketika disodori amplop gaji, Manarfa hanya meneken tanda terima lalu menyerahkan seluruh isinya ke kas universitas. "Ia bertekad menolak gaji dari Unidayan sampai perguruan tinggi dan semua karyawannya sejahtera," kata Meta. 

Apa lagi nama yang bisa kita berikan kepadanya selain Pendekar Pendidikan dengan api yang menyala-nyala? Tak mengherankan bila senat Universitas Haluoleo, Sulawesi Tenggara, akhirnya mengganjarnya dengan dua penghargaan sekaligus, pada 19 Agustus 2002.

 Menurut Rektor Universitas Haluoleo, Mahmud Hamundu, penghargaan itu diberikan karena Manarfa dianggap sebagai tokoh yang berjasa memajukan pendidikan di Sulawesi Tenggara, dan mengembangkan Universitas Haluoleo. Toh sang pendekar bisa rontok oleh stroke. 

Manarfa kini tengah tergolek lemah di atas ranjang ruang gawat darurat Rumah Sakit Edy Sabara, Kendari, Sulawesi Tenggara. Ketika TEMPO menjenguknya akhir Oktober silam, bersusah payah ia berusaha menyambut. 

Tubuhnya terlihat lemah. Tetapi sepasang matanya memperlihatkan semangat yang tak padam. "Sepanjang masih diberi kemampuan oleh Allah, kalau perlu hingga akhir hayat, saya akan terus mengabdikan diri pada dunia pendidikan," katanya pada pengujung jam berkunjung. Di ujung tubuhnya yang sudah kisut, ia masih memberikan nyala pada negeri ini.

SOSOK PAHLAWAN NASIONAL DI KESULTANAN BUTON

SOSOK PAHLAWAN NASIONAL DI KESULTANAN BUTON



"Pahlawan dari Sulawesi Tenggara"
(La Ode Muhammad Falihi dan La Ode Manarfa)
1. Pendahuluan
Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada seseorang warga Negara Indonesia yang semasa hidupnya melakukan tindak kepahlawanan dan berjasa sangat luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara. Salah satu kriterianya yaitu  Warga Negara Indonesia yang telah meninggal dunia dan semasa hidupnya Telah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik/ perjuangan dalam bidang lain mencapai/ merebut /memper tahankan/mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa dan telah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara.
Sampai saat ini, Sulawesi Tenggara masih saja belum mempunyai tokoh yang dijadikan sebagai Pahlawan Nasional. Padahal, keberadaan Pahlawan dapat meningkatkan rasa nasionalisme terhadap Bangsa, mungkin juga karena itu, pengangkatan tokoh daerah menjadi Pahlawan Nasional dijadikan alat politik untuk merangkul kembali daerah yang rawan konflik untuk tetap kepangkuan Indonesia. Kita bisa melihat daerah-daerah yang yang kerap terjadi pemberontakan justru banyak mempunyai pahlawan Nasional yang berasal dari tokoh daerah, misalnya Teuku Umar, Tuanku Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, Pattimura, dll, meskipun belakangan banyak yang menggugat kepahlawanan mereka, namun Mereka adalah tetap tokoh-tokoh daerah yang dijadikan Pahlawan Nasional dan menjadi inpiratif walaupun kontroversial. Mengapa Sulawesi Tenggara belum mempunyai seorangpun Pahlawan? Mungkinkah memang tidak ada? Atau mungkin karena Sulawesi Tenggara merupakan Provinsi yang paling adem ayem selama berdirinya Bangsa Indonesia ini, jadi fungsi politik dari adanya Pahlawan Nasional di Sultra belum begitu mendesak?.
Entah berapa kali Sultra mengusulkan beberapa nama kepemerintah Pusat untuk dijadikan Pahlawan Nasional namun belum berhasil. Nama tersebut adalah Lakilaponto/Halu Oleo (Sultan Murhum) yang merupahkan tokoh pejuang dan pemersatu kerajaan di Sulawesi Tenggara dan Sultan Himayatuddin (Oputa yi Koo) yang merupakan Sultan yang berjuang melawan penjajahan Belanda sampai akhir khayatnya. Pemprov Sultra hanya terpaku atas dua nama tersebut, sedangkan putra daerah yang layak menjadi Pahlawan Nasional lebih dari itu, salah satu dari mereka adalah La Ode Muhammad Falihi Kaimuddin Khalifatul Khamis dan Al Muakram almarhum La Ode Manarfa.
2. Tokoh Pahlawan Nasional Asal Sulawesi Tenggara
A. La Ode Muhammad Falihi, Sultan Buton ke-38 (1937-1960 M).
La Ode Falihi adalah sultan Buton yang pada masa kepemimpinannya berada pada saat Indonesia sedang berjuang melawan hegemoni Belanda, dan mengusir penjajah dari nusantara. Dimanakah nilai kepahlawana La Ode Muhammad Falihi bagi Bangsa Indonesia? Untuk mengetahuinya, ada baiknya kita harus mengetahui kedudukan kesultanan Buton terhadap bangsa Indonesia disaat-saat awal berdirinya bangsa Indonesia.
a. Kedudukan Kesultanan Buton Terhadap Bangsa Indonesia
Kerajaan/Kesultanan Buton yang berdiri sejak abad ke-13 adalah merupakan negara yang berdaulat dan mempunyai pemerintahan tersendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengan Perjanjian Korte Verklaring pada masa pemerintan Sultan ke-33 Muhammad Asikin antara kesultanan Buton dan kerajaan Belanda pada 18 april 1906, dimana dalam perjanjian tersebut kesultanan Buton mengakui kekuasaan Belanda dan Belanda tidak menguasai Buton. Inti dari perjanjian ini yaitu Kesultanan Buton dan Belanda saling menghargai wilayah kekuasaan masing-masing negara, dimana Buton mengakui kekuasaan Belanda yang meliputi Irian, Maluku, Sulawesi Selatan sampai Utara, sebagian Kalimantan, Jawa, Bali, dan Sumatra, sedangkan Belanda mengakui wilayah kedaulatan Kesultanan Buton. 

Perjanjian ini menguatkan perjanjian yang telah dilakukan oleh sultan-sultan sebelumnya sejak perjanjian “Pesrsekutuan Abadi” yang dilakukan oleh Sultan Buton ke-4 Dayanu Iksanuddin dengan Gubernur jendral VOC, Pieter Both pada 17 Desember 1613. Adapun wilayah kekuasaan Buton yang diakui dalam perjanjiaan 1906 yaitu meliputi Sulawesi Tenggara ( - afdeling Kolaka) pada saat ini, bahkan meliputi selayar di Sulawesi Selatan dan pulau Menui di Sulawesi Tengah (Afdeling Buton dan Laiwui (Kendari) digabungkan dengan Bungku dan Mori yang Beribukotakan di Baubau  Buton).
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 agustus 1945, Indonesia dengan Belanda pengadakan Perjanjian Linggar Jati pada tanggal 7 oktober 1947. Dimana dalam perjanjian tersebut Belanda mengakui kedaulatan Indonesia atas Jawa, Sumatra dan Madura, sedangkan wilayah indonesia timur tetap dikuasai oleh Belanda, namun dalam hal ini tidak termasuk Kesultanan Buton (perjanjian Korte Verklaring). Pada 7- 24 desember 1947, Belanda menggagas berdirinya Negara Indonesia Timur di Denpasar Bali yang terdiri atas 13 daerah otonomi (Sulawesi Selatan, Minahasa, Kepulauan Singihe dan Talaud, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Bali, Lombok, Sumbawa,Flores, Sumba, Timor dan Kepulauan, Maluku Selatan dan Maluku Utara) dan lima Keresidenan yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Bali, Lombok dan Maluku. Jadi Juga dalam hal ini, Kesultanan Buton, masih merupakan negara yang berdaulat dan tidak termasuk wilayah Negara Indonesia Timur (NIT).
Setelah Agresi Belanda yang ke-2, Pada tanggal 23 agustus - 27 Desember 1949, Indonesia yang saat itu masih bernama RIS (Jawa, Madura dan Sumatra) kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB), dimana hasil dari perjanjian tersebut yaitu Negara Indonesia Timur (NIT) diintegrasikan kedalam Republik Indonesia Serikat (RIS), dan semua bekas jajahan Belanda (Hindia-Belanda) tidak termasuk Irian Barat.
Jadi Jelaslah berdasarkan beberapa perjanjian diatas (Korte Verklaring (1906), pernjian Linggar Jati (1946) , Konferensi Denpasar (1949) dan Konferensi Meja Bundar(1949)) maka sampai akhir tahun 1950, Wilayah Indonesia sekarang, saat itu masih terdiri atas 3 negara berdaulat yaitu Belanda (Irian Barat), Indonesia (NITdan RIS) dan Kesultanan Buton (Sulawesi tenggara dan Timur). Dalam Hal ini, Kedudukan kesultanan Buton Sejajar dengan Belanda dan Indonesia.
 b. Integrasi Kesultanan Buton ke NKRI dan cikal bakal Provinsi Sulawesi Tenggara
menyadari akan kedudukan Kesultanan Buton yang berdaulat, pada awal februari 1950, Ir.Sukarno menggelar Pertemuan di Malino (Makassar) dengan mengundang seluruh raja-raja sesulawesi dihadiri Sultan Andi Mappanyuki (raja Bone) dan Andi Pangerang Pettarani (gubenur afdeling makassar) yang sebelumnya telah masuk kedalam wilayah RI (KMB),  serta kesultanan buton yang diwakili oleh sultan La Ode Muh. Falihi. Pada Pertemuan tersebut Ir. Soekarno menawarkan bentuk pemerintahan baru kepada Sultan La Ode Falihi yaitu bentuk negara NKRI dengan menawarkan Kesultanan Buton dengan opsi menjadi wilayah istimewah. Pada 15 Januari 1951, democratiseering dilakukan terhadap anggota-anggota swapraja Buton dan disaksikan Kepala Daerah Sulawesi Tenggara Abdul Razak Bagindo Maharaja Lelo dan Kesultanan Buton pun berakhir. 

Dalam proses selanjutnya, Buton pada tahun 1952 menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan-Tengara (Suseltra) yang terdiri atas dua kabupaten yaitu kabupaten Sulawesi Selatan yang beribukota di Ujung Pandang dan Kabupaten Sulawesi Tenggara (Bekas wilayah Kesultanan Buton) yang beribukota di Baubau (Buton) dengan pusat pemerintahan di Ujung Pandang (makassar). Pada tahun 1960, Kabupaten Sulawesi Tenggara di mekarkan menjadi empat kabupaten yaitu Buton, Muna, Kolaka dan Kendari. Dan tahun 1962, Sulawesi tenggara menjadi sebuah Provinsi dengan Ibukota di Kendari.  
c. Letak Kepahlawanan La Ode Muhammad Falihi
Masuknya Kesultanan Buton (Baca; Sulawesi Tenggara Sekarang) kedalam wilayah NKRI ini tidak terlepas dari jasa Sultan Buton La Ode Muhammad Falihi yang secara sukarela mengintegrasikan wilayah kekuasaannya yang luas masuk kedalam wilayah Indonesia. Walaupun pada akhirnya sepeninggal beliau (1960), Kesultanan Buton yang semula dijanjikan menjadi daerah istimewah oleh RI malah mendapat perlakuan bejat dari oknum tentara RI dibawah pemerintahan Orde Baru yang tidak menginginkan Wilayah bekas Kesultanan Buton berkembang lebih baik. Upaya itu dilakukan dengan menahan dan membunuh kader-kader terbaik Buton. Akibat peristiwa kemanusian yang terjadi pada tahun 1965 yang menyebabkan kematian hak-hak asasi kemanusian, sipil dan hak-hak politik, serta kematian budaya masyarakat Buton yang telah berkembang lebih dari enam abad setelah perluasan dari isu basis PKI yang dilancarkan oleh oknum TNI terhadap masyarakat dan pemimpin-pemimpin Buton. Peristiwa tersebut menyebabkan Gubenur pertama Sulawesi Tenggara La Ode Hadi di Lengserkan pada 1965 dan Bupati Buton Kasim ditahan dan akhirnya terbunuh dipenjara  tahun 1969. Pembunuhan karakter masyarakat Buton tersebut berlansung terus sampai masa Orde Reformasi (1998).
Bagi Indonesia khususnya masyarakat Buton, Masuknya kesultanan Buton kedalam NKRI adalah hadiah yang besar yang diberikan Sultan La Ode Muhammad Falihi kepada Ir. Sukarno sebagai presiden Indonesia pertama. Masuknya Kesultanan Buton menyebabkan pupusnya harapan kolonial Belanda untuk kembali ke Indonesia bagian tengah. Sebab sebelumnya, kesultanan Buton jauh lebih dekat dengan Belanda ketimbang daerah lain. Dengan demikian sudah sepantasnya jasa Baginda harus diperhitungkan bagi Republik ini dan sangat layak menjadi Pahlawan Nasional seperti halnya Sultan Andi Mappanyuki (Raja bone) dan Andi Pangerang Pettarani yang sama-sama berjuang memasukkan NIT kedalam NKRI. 
B.Drs.H.La Ode Manarfa
La Ode Manarfa Lahir di Buton, Sulawesi Tenggara, 22 Maret 1917, adalah putra tertua Sri Sultan Buton ke-38, La Ode Falihi Qaimuddin Khalifatul Khamis. Sang ibu, Wa Ode Azizah, anak dari Lakina Sorawolio yang masih keturunan Raja Buton I. Karena itulah, beberapa orang menganggapnya sebagai sultan terakhir Keraton Buton. Setelah meraih gelar sarjana di bidang Indologie (ilmu tentang Indonesia) dari Verenigde Vakultaiten Universiteit Leiden, Belanda, pada 1952, Manarfa  menjadi sarjana pertama di wilayah Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulselra). Entah apa jadinya dunia pendidikan di Sulawesi Selatan dan Tenggara tanpa nama La Ode Manarfa. Dia menjadi legenda hidup dunia pendidikan tinggi di Sulawesi bukan hanya karena separuh umurnya dihabiskan untuk mendirikan dan mengembangkan kemajuan pendidikan-seperti Universitas Hasanuddin-di daerahnya, tetapi juga karena dialah contoh keturunan bangsawan yang memilih hidup bersahaja dan berkeliling Sulawesi untuk tak henti-hentinya mendirikan universitas bagi rakyat Sulawesi, sekaligus menjadi satu-satunya pengajar tertua yang masih bersemangat memberikan kuliah dalam keadaan tubuh yang renta.
1. Mendirikan Universitas Hasanuddin (Sulawesi Selatan)
Sebagian akhir hayatnya manarfah menghabiskan hidupnya didunia pendidikan. Sebagai Bupati di Kabupaten Sulawesi Tenggara pada tahun 1952, Manarfah bersama rekan-rekannya mendirikan Universitas di Ujung Pandang sebagai Ibukota Sulawesi Selatan-Tenggara empat tahun kemudian. Saat itu Indonesia baru saja merdeka. Kehidupan serba terbatas dan hanya pulau Jawalah yang dianggap makmur dan menjadi pusat dari segala kegiatan. Pulau lain seperti Sulawesi tergolong terbelakang. Manarfah menyadari betapa susahnya saat itu, tapi Manarfa tak mudah menyerah. Ia merogoh kocek sendiri demi suatu kegiatan yang kurang populer dan kurang komersial ketika itu. Universitas yang dibangun tersebut adalan Universitas Hasanuddin. Sumbangan Manarfa bukan cuma dana, tapi juga ide. Dialah yang mengusulkan agar Universitas Hasanuddin, perguruan tinggi terbesar di Sulawesi Selatan itu, menggunakan gambar ayam jantan sebagai lambang. Manarfa bercerita, gambar ayam jago itu tercetus dalam sebuah rapat menentukan logo Universitas Hasanuddin.
Universitas Hasanuddin menjadi Universitas termaju di Indonesia bagian timur, universitas yang dibangun menggunakan dana La Ode Manarfa kini telah menjadi kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan dan Indonesia Timur. Universitas tersebut telah menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa, salah satunya wakil Presiden Yusuf Kalla. Saat ditemui dan ditanya wartawan majalah TEMPO tahun 2002, berapa dana yang iya keluarkan? Manarfa enggan menjawabnya. "Prinsip saya, jika tangan kanan memberi, tangan kiri tak perlu tahu," katanya.
2. mendirikan Universitas Haluoleo (sulawesi Tenggara)
Menyadari betapa pendidikan kemudian membawa Sulawesi melangkah begitu pesat, Manarfa mendirikan Universitas Sulawesi Tenggara di Kabupaten Buton pada tahun1960 sebagai. Tapi perguruan tinggi ini terpaksa dipindahkan ke Kendari, seiring dengan terlepasnya Provinsi Sulawesi Tenggara dari Sulawesi Selatan pada tahun 1964 dan perpindahan Ibukota Provinsi di Kendari. Tak tanggung-tanggung, semua fasilitas Universitas Sulawesi Tenggara yang dibeli Manarfa dengan uang pribadi juga diangkutnya ke Kendari. Setelah pindah, Universitas Sulawesi Tenggara berganti nama menjadi Universitas Haluoleo, dengan status Swasta. Status ini baru berubah menjadi Universitas Negeri pada tahun 1981, juga karena perjuangan Manarfa. Tetapi Manarfa bukanlah sosok yang membutuhkan posisi, jabatan, apalagi uang. Meski sebagai pendiri ia memiliki peluang yang luar biasa besar untuk menjadi rektor pertama di Universitas Haluoleo, ia memilih pulang ke Buton dan lagi-lagi menanam bibit baru. 
3. Mendirikan Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Buton)
Dia mendirikan Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan) bersama La Ode Malim pada tahun 1982. Tak hanya menanam dan menumbuhkan berbagai universitas, Manarfa juga bersemangat mengajar. Dialah satu-satunya dosen tertua di antara 930 dosen di empat perguruan tinggi yang ada di seluruh pelosok Sulawesi Tenggara. Bisa jadi dia dosen tertua di negeri ini. Sekali dalam sepekan, ia mengajar mata kuliah pendidikan akhlak dan budaya. Staminanya sungguh luar biasa. 

Syahdan, pada Agustus silam, reporter TEMPO menyaksikan sendiri bagaimana Manarfa berdiri dan berceramah memberikan kuliah perdana kepada para mahasiswa baru Unidayan selama tiga jam tanpa henti. Di dalam tubuh yang digerogoti 85 tahun kehidupan, toh jiwanya berkelojotan setiap kali para mahasiswanya berlomba-lomba mengajukan pertanyaan menyangkut materi perkuliahan yang diberikan.

 "Orang tua itu seperti tak pernah kehabisan energi," kata salah seorang koleganya kepada TEMPO. Dengan energi yang luar biasa dan kegiatan pendidikan yang tak berkesudahan sepanjang hidupnya, Manarfa tak kunjung menggunakan lembaga pendidikan sebagai lembaga komersial, meski peluang itu sungguh besar. Tak mengherankan, dia merasa cukup bernaung di sebuah rumah warisan yang sederhana berisi dua set sofa yang mulai tua, televisi 21 inci, tiga buah guci yang sudah agak kusam. Satu-satunya pemandangan yang mencolok di rumahnya adalah ribuan buku pelbagai tema yang tersusun rapi di rak-rak dan lemari yang menempel di dinding. Inilah yang menunjukkan bahwa dia seorang pendidik, pemikir yang hidup di alam ideal. Dia bahkan tak memiliki sebuah mobil pun hingga anaknyalah yang harus meminjamkan kendaraan dan sopir untuk mengantar ayahnya yang sudah renta itu. 

Dan di dalam kesederhanaannya itu, Manarfa juga masih menolak mengambil gajinya sebagai rektor. Menurut La Meta, bendahara Universitas Dayanu, setiap akhir bulan ketika disodori amplop gaji, Manarfa hanya meneken tanda terima lalu menyerahkan seluruh isinya ke kas universitas. "Ia bertekad menolak gaji dari Unidayan sampai perguruan tinggi dan semua karyawannya sejahtera," kata Meta.
 Apa lagi nama yang bisa kita berikan kepadanya selain Pendekar Pendidikan dengan api yang menyala-nyala? Tak mengherankan bila senat Universitas Haluoleo, Sulawesi Tenggara, akhirnya mengganjarnya dengan dua penghargaan sekaligus, pada 19 Agustus 2002. Menurut Rektor Universitas Haluoleo, Mahmud Hamundu, penghargaan itu diberikan karena Manarfa dianggap sebagai tokoh yang berjasa memajukan pendidikan di Sulawesi Tenggara, dan mengembangkan Universitas Haluoleo.
3, Penutup
Kebanyakan dari kita kurang menghargai perjuangan tokoh daerah disebabkan sebuah egoisme tentang kedaerahan, keturunan dan kepemilikan. Padahal seorang pahlawan berjuang tanpa pamrih, tanpa memikirkan daerah siapa, keturunan siapa dan rakyat mana yang mereka perjuangkan. Mereka berjuang semampu mereka dengan tidak mengharapkan sebuah imbalan dan kekuasaan. Diotak  mereka hanyalah sebuah keinginan demi kemajuan dan kesejahteraan buat rakyat dan bangsa.

La Ode Falihi, berjuang dengan meninggalkan tahta kekuasaan dan Manarfa yang berjuang demi pembangunan pendidikan dan ahlak. Mereka adalah tokoh yang bisa menjadi inspirasi bangsa khususnya masyarakat Sulawesi Tenggara. Pahlawan Nasional bukanlah milik keturunannya saja, Pahlawan Nasional bukanpula milik daerah kelahirannya, namun Pahlawan Nasional adalah milik kita bangsa Indonesia. Untuk itu, perjuangan beliau dimasa lalu, patutlah kita hargai dan kita dukung menjadi Pahlawan Nasional.
                        Makassar 20/12/2010
Oleh : Rusman Bahar LM
Sumber
-         Kementerian Sosial RI - Kerja Keras, Kerja Cerdas, Kerja Mawas, Kerja Selaras dan Kerja Tuntas, “Pahlawan”
-          Ilmi Hasimin, 2009 “(Diantara Harapan dan Kenyataan), Pemekaran Buton Raya, Busel dan Buteng” Radar Buton
-          Sejarah Singkat Sulawesi Tenggara, Sulawesitenggaraprov.go.id
-        Zuhdi Susanto,2010, ”Perahu yang Berlayar di Antara Karang-Karang Kesultanan Butuni (1491-1960)wisatadanbudaya.blogspot.com
-          Isi Perjanjian Linggar Jati, Wikipedia.com
-          Isi Perjanjian KMB, Wikipedia.com
-          Negara IndonesiaTimur, Wikipedia.com
-          Ibrahim Irianto, 2010 “Orang-orang Buton, Gemilang di Masa Lampau” Ini Ok.com
-          Tempo online,2002 “Api Yang menyalah di Tubuh Manarfa”
-          Foto: pertemuan raja se sulawesi (http://politik.kompasiana.com/2010/12/01/kasihan-yogyakarta/)

ddiambil dari :http://ujungangin.blogspot.com

Istana Kesultanan Buton (Pusat Kebudayaan Wolio)

Nilai Budaya

Istana Kesultanan Buton, Baubau, Sulawesi Tenggara.

Pusat Kebudayaan Wolio

Berada tidak jauh di luar kompleks keraton, terdapat istana Sultan Buton ke-38 yang kini menjadi museum atau Pusat Kebudayaan Wolio. Gagasan pendirian museum datang dari putra Sultan Buton ke-38 Drs. H. La Ode Manarfa Kaimuddin KK pada 1980. Saat ini Museum Kebudayaan Wolio dikelola oleh keluarga keturunan Sultan Buton ke-38. Koleksi museum terdiri atas benda-benda peninggalan dari Kesultanan Buton ke-38, berupa alat-alat upacara seperti tempolong, altar, vas bunga, senjata atau alat-alat peperangan seperti tombak, meriam, alat kesenian, alat rumah tangga, keramik, foto-foto dan lainnya.

Jika ingin mengetahui seluk-beluk Kesultanan Buton, menghunjungi Pusat Kebudayaan Wolio merupakan pilihan yang tepat. Tempat ini memang sengaja menjaga sejarah keslutanan Buton tidak hanya dalam bentuk benda-banda besejarah tapi juga kisah-kisah yang siap diungkapkan oleh keluarga yang menjaganya serta tak kalah penting nilai-nilai falsafah kehidupan orang Buton sendiri.

Cukup banyak falsafah hidup orang Buton yang sarat akan makna, diantaranya adalah Empat Aturan Dalam hidup bernegara dan berbangsa mereka memegang teguh empat aturan, yaitu Inda inda mo arata somanamo karo artinya, korbankan harta demi keselamatan diri. Kemudian Inda inda mo karo somana mo lipu, artinya korbankan diri demi keselamatan negeri, kemudian Inda inda mo lupu somanamu syara, artinya korbankan negeri yang penting pemerintahan. Terakhir adalah Inda inda mo syara somanamu agama artinya biarlah pemerintahan hancur yang penting agama.
Falsafah perjuangan kerajaan Buton ini tidak menentukan agama apa yang harus dibela, karena agama apapun sama saja, jika itu sudah menjadi pilihan orang atau negara yang bersangkutan. Selain falsafah negara, Orang Buton mempunyai falsafah hidup, yakni Po Mae Maeka, artinya sesama manusia harus tenggang rasa. Po ma ma siaka, artinya tiap manusia harus saling menyayangi, Po angka angka taka artinya tiap manusia harus saling menghargai dan Po pia piara artinya tiap manusia harus saling memelihara. Karena falsafah ini maka pasangan suami istri di Buton sangat awet dan takut sekali bercerai, mungkin prinsip ini perlu diadopsi banyak orang jaman sekarang yang sedikit bermasalah dengan yang terakhir ini.

sumber: aci.detik.com

diambil dari :  http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/74/name/sulawesi-tenggara/detail/7404/buton

Raja Buton Keturunan Cina


Kompas/yas

ISTANA BAADIA, Baubau, Buton, Sulawesi Tenggara - Istana sultan di Buton berbentuk rumah panggung bersusun tiga. Sesuai tradisi, istana yang disebut kamali harus dibuat sendiri oleh sultan bersama keluarganya. Di Baubau terdapat tiga istana kayu seperti ini, dua di Badia yakni di kompleks keraton dan satunya lagi di pusat kota Bau-bau. Sedangkan istana dalam bentuk gedung di pusat kota jarang digunakan sebagai tempat tinggal.

TRADISI lisan maupun tulisan menyebutkan bahwa Putri Wakaa-Kaa berasal  dari Cina. Dia adalah putri Kubilai Khan, yang konon dikirim ke Persia untuk menjadi raja menyusul jatuhnya Baghdad ke tangan Hulagu pada tahun 1258.
   
Bagaimana bisa terdampar di Buton? Drs H La Ode Manarfa (79), Sultan Buton sekarang menuturkan, dalam perjalanan ke Baghdad Putri Wakaa-Kaa bersama rombongannya singgah di Jawa. Karena kerajaan Singosari waktu itu sedang kurang aman, maka Wakaa-Kaa dibawa ke Buton oleh Panglima Kao-Cing, yang memimpin perjalanan.
   
Di Buton, putri ini disambut hangat masyarakat setempat. Bahkan dia dijadikan raja (ratu) oleh masyarakat Tanah Semenanjung yang telah lebih dulu bermukim di pulau tersebut. Buton pada masa itu dikatakan telah berada di bawah kekuasaan Majapahit.
   
Singkat cerita, Putri Wakaa-Kaa kemudian kawin dengan Sibatara, salah seorang pangeran dari Majapahit yang sedang berada di Buton. Dari perkawinan ini lahir seorang putri jelita yang diberi nama Bulawambona yang berarti bulan purnama. Bulawambona inilah yang menjadi leluhur para raja dan sultan Buton hingga sekarang.
 
Sedangkan Wakaa-Kaa setelah menjadi ratu sebentar dan sempat melahirkan seorang anak (Bulawambona), dia meneruskan perjalanan ke Baghdad. Begitu menurut La Ode Manarfa.
   
                                    ***
 SULTAN Buton pertama bernama Kaimuddin. Ia sebetulnya adalah raja Buton VI sejak dari Wakaa-Kaa dan kemudian putrinya Bulawambona sebagai raja (ratu) Buton II. Setelah memeluk Islam, ia mengubah sistem pemerintahan menjadi kesultanan. Dalam sejarah Buton  disebutkan, Sultan Kaimuddin memerintah tahun 1538-1584.
   
Setelah wafat ia dikenal dengan nama Murhum, dari kata almarhum. Sebab  masyarakat feodal di Buton menganggap tabu menyebut langsung nama sultannya, meski telah tiada. Makam Murhum terletak di sebuah bukit  yang bersebelahan dengan bukit lain tempat Masjid Agung Keraton Buton berdiri.
   
   Ada cerita lain mengenai kesultanan Buton. Menurut Manarfa lagi, semua
   sultan di Buton bergelar Khalifatul Khamis. Artinya khalifah yang ke-5
   di dunia Islam.
   
   Dalam sejarah Islam hanya dikenal empat khalifah yang disebut
   khulafaurrasyidin. Mereka adalah pengganti Nabi Muhammad saw sebagai
   kepala negara Islam. Ke-empat khalifah itu berturut-turut adalah
   Abubakar Ashidiq, Umar bin Chatab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi
   Thalib. Setelah Ali wafat, tidak ada lagi kepala negara bergelar
   khalifah di pusat-pusat kekuasaan Islam.
   
   Kesultanan Buton lain halnya. Masih cerita Manarfa, gelar Khalifatul
   Khamis diberikan langsung penguasa kota Mekkah kepada Sultan
   Kaimuddin. Dan semua sultan Buton setelah Kaimuddin, berhak
   menggunakan gelar itu, termasuk La Ode Manarfa. (yas) 

Sumber Ohio university : http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/10/01/0029.html