Api yang Menyala di Tubuh Manarfa
Di
dalam darahnya, bukan hanya ada sungai berwarna biru, tetapi juga ada
darah Oemar Bakri, Ki Hajar Dewantara, Montessori, berbaur menjadi
sebuah lautan yang dahsyat. Di dalam darahnya, kata pendidikan mengalir
ke jantungnya dan menjadi pompa dalam kehidupannya yang kini mencapai 85
tahun.
Entah
apa jadinya dunia pendidikan di Sulawesi Selatan dan Tenggara tanpa
nama La Ode Manarfa. Dia menjadi legenda hidup dunia pendidikan tinggi
di Sulawesi bukan hanya karena separuh umurnya dihabiskan untuk
mendirikan dan mengembangkan kemajuan pendidikan-seperti Universitas
Hasanuddin-di daerahnya, tetapi juga karena dialah contoh keturunan
bangsawan yang memilih hidup bersahaja dan berkeliling Sulawesi untuk
tak henti-hentinya mendirikan universitas bagi rakyat Sulawesi,
sekaligus menjadi satu-satunya pengajar tertua yang masih bersemangat
memberikan kuliah dalam keadaan tubuh yang renta.
Lahir
di Kulisusu, Kota Madya Baubau, Sulawesi Tenggara, 22 Maret 1917,
Manarfa adalah putra tertua Sri Sultan Buton ke-38, La Ode Falihi
Qaimuddin Khalifatul Khamis. Sang ibu, Wa Ode Azizah, anak dari Lakina
Sorawolio yang masih keturunan Raja Buton I.
Karena
itulah, beberapa orang menganggapnya sebagai sultan terakhir Keraton
Buton. Setelah meraih gelar sarjana di bidang Indologie (ilmu tentang
Indonesia) dari Verenigde Vakultaiten Universiteit Leiden, Belanda, pada
1952, Manarfa Ode menjadi sarjana pertama di wilayah Sulawesi Selatan
dan Tenggara.
Empat
tahun kemudian, bersama beberapa rekannya, Manarfa mendirikan
Universitas Hasanuddin. Wa Ode Daawia, istri Manarfa, masih ingat
bagaimana susahnya perjuangan sang suami ketika itu.
Indonesia
baru saja merdeka. Kehidupan serba terbatas dan hanya pulau Jawalah
yang dianggap makmur dan menjadi pusat dari segala kegiatan. Pulau lain
seperti Sulawesi tergolong terbelakang.
Tapi
Manarfa tak mudah menyerah. Ia merogoh kocek sendiri demi suatu
kegiatan yang kurang populer dan kurang komersial ketika itu. Berapa
jumlahnya? Manarfa enggan menjawabnya. "Prinsip saya, jika tangan kanan
memberi, tangan kiri tak perlu tahu," katanya. Sumbangan Manarfa bukan
cuma dana, tapi juga ide. Dialah yang mengusulkan agar Universitas
Hasanuddin, perguruan tinggi terbesar di Sulawesi Selatan itu,
menggunakan gambar ayam jantan sebagai lambang.
Manarfa
bercerita, gambar ayam jago itu tercetus dalam sebuah rapat menentukan
logo Universitas Hasanuddin. "Saya teringat pada perjuangan Sultan
Hasanuddin yang dijuluki 'Ayam Jantan dari Timur' sewaktu mengusir
Belanda dari Makassar," kata Manarfa. Menyadari betapa pendidikan
kemudian membawa Sulawesi melangkah begitu pesat, Manarfa mendirikan
Universitas Sulawesi Tenggara di Kabupaten Buton pada 1960.
Tapi
perguruan tinggi ini terpaksa dipindahkan ke Kendari, seiring dengan
terlepasnya Provinsi Sulawesi Tenggara dari Sulawesi Selatan pada 1964.
Tak tanggung-tanggung, semua fasilitas Universitas Sulawesi Tenggara
yang dibeli Manarfa dengan uang pribadi juga diangkutnya ke Kendari.
Setelah
pindah, Universitas Sulawesi Tenggara berganti nama menjadi Universitas
Haluoleo, dengan status swasta. Status ini baru berubah menjadi
universitas negeri pada 1981, juga karena perjuangan Manarfa. Tetapi
Manarfa bukanlah sosok yang membutuhkan posisi, jabatan, apalagi uang.
Meski
sebagai pendiri ia memiliki peluang yang luar biasa besar untuk menjadi
rektor pertama di Universitas Haluoleo, ia memilih pulang ke Buton dan
lagi-lagi menanam bibit baru.Dia mendirikan Universitas Dayanu
Ikhsanuddin (Unidayan) bersama La Ode Malim pada 1982. Tak hanya menanam
dan menumbuhkan berbagai universitas, Manarfa juga bersemangat
mengajar.
Hingga
saat ini Manarfa tercatat sebagai pengajar sekaligus Rektor Unidayan.
Dialah satu-satunya dosen tertua di antara 930 dosen di empat perguruan
tinggi yang ada di seluruh pelosok Sulawesi Tenggara. Bisa jadi dia
dosen tertua di negeri ini. Sekali dalam sepekan, ia mengajar mata
kuliah pendidikan akhlak dan budaya. Staminanya sungguh luar biasa.
Syahdan,
pada Agustus silam, reporter TEMPO menyaksikan sendiri bagaimana
Manarfa berdiri dan berceramah memberikan kuliah perdana kepada para
mahasiswa baru Unidayan selama tiga jam tanpa henti.
Di
dalam tubuh yang digerogoti 85 tahun kehidupan, toh jiwanya
berkelojotan setiap kali para mahasiswanya berlomba-lomba mengajukan
pertanyaan menyangkut materi perkuliahan yang diberikan. "Orang tua itu
seperti tak pernah kehabisan energi," kata salah seorang koleganya
kepada TEMPO.
Dengan
energi yang luar biasa dan kegiatan pendidikan yang tak berkesudahan
sepanjang hidupnya, Manarfa tak kunjung menggunakan lembaga pendidikan
sebagai lembaga komersial, meski peluang itu sungguh besar. Tak
mengherankan, dia merasa cukup bernaung di sebuah rumah warisan yang
sederhana berisi dua set sofa yang mulai tua, televisi 21 inci, tiga
buah guci yang sudah agak kusam.
Satu-satunya pemandangan yang mencolok di rumahnya adalah ribuan buku
pelbagai tema yang tersusun rapi di rak-rak dan lemari yang menempel di
dinding. Inilah yang menunjukkan bahwa dia seorang pendidik, pemikir
yang hidup di alam ideal.
Dia
bahkan tak memiliki sebuah mobil pun hingga anaknyalah yang harus
meminjamkan kendaraan dan sopir untuk mengantar ayahnya yang sudah renta
itu. Dan di dalam kesederhanaannya itu, Manarfa juga masih menolak
mengambil gajinya sebagai rektor.
Menurut
La Meta, bendahara Universitas Dayanu, setiap akhir bulan ketika
disodori amplop gaji, Manarfa hanya meneken tanda terima lalu
menyerahkan seluruh isinya ke kas universitas. "Ia bertekad menolak gaji
dari Unidayan sampai perguruan tinggi dan semua karyawannya sejahtera,"
kata Meta.
Apa
lagi nama yang bisa kita berikan kepadanya selain Pendekar Pendidikan
dengan api yang menyala-nyala? Tak mengherankan bila senat Universitas
Haluoleo, Sulawesi Tenggara, akhirnya mengganjarnya dengan dua
penghargaan sekaligus, pada 19 Agustus 2002.
Menurut
Rektor Universitas Haluoleo, Mahmud Hamundu, penghargaan itu diberikan
karena Manarfa dianggap sebagai tokoh yang berjasa memajukan pendidikan
di Sulawesi Tenggara, dan mengembangkan Universitas Haluoleo. Toh sang
pendekar bisa rontok oleh stroke.
Manarfa
kini tengah tergolek lemah di atas ranjang ruang gawat darurat Rumah
Sakit Edy Sabara, Kendari, Sulawesi Tenggara. Ketika TEMPO menjenguknya
akhir Oktober silam, bersusah payah ia berusaha menyambut.
Tubuhnya
terlihat lemah. Tetapi sepasang matanya memperlihatkan semangat yang
tak padam. "Sepanjang masih diberi kemampuan oleh Allah, kalau perlu
hingga akhir hayat, saya akan terus mengabdikan diri pada dunia
pendidikan," katanya pada pengujung jam berkunjung. Di ujung tubuhnya
yang sudah kisut, ia masih memberikan nyala pada negeri ini.
Sumber :
Api yang Menyala di Tubuh Manarfa
Di
dalam darahnya, bukan hanya ada sungai berwarna biru, tetapi juga ada
darah Oemar Bakri, Ki Hajar Dewantara, Montessori, berbaur menjadi
sebuah lautan yang dahsyat. Di dalam darahnya, kata pendidikan mengalir
ke jantungnya dan menjadi pompa dalam kehidupannya yang kini mencapai 85
tahun.
Entah
apa jadinya dunia pendidikan di Sulawesi Selatan dan Tenggara tanpa
nama La Ode Manarfa. Dia menjadi legenda hidup dunia pendidikan tinggi
di Sulawesi bukan hanya karena separuh umurnya dihabiskan untuk
mendirikan dan mengembangkan kemajuan pendidikan-seperti Universitas
Hasanuddin-di daerahnya, tetapi juga karena dialah contoh keturunan
bangsawan yang memilih hidup bersahaja dan berkeliling Sulawesi untuk
tak henti-hentinya mendirikan universitas bagi rakyat Sulawesi,
sekaligus menjadi satu-satunya pengajar tertua yang masih bersemangat
memberikan kuliah dalam keadaan tubuh yang renta.
Lahir
di Kulisusu, Kota Madya Baubau, Sulawesi Tenggara, 22 Maret 1917,
Manarfa adalah putra tertua Sri Sultan Buton ke-38, La Ode Falihi
Qaimuddin Khalifatul Khamis. Sang ibu, Wa Ode Azizah, anak dari Lakina
Sorawolio yang masih keturunan Raja Buton I.
Karena
itulah, beberapa orang menganggapnya sebagai sultan terakhir Keraton
Buton. Setelah meraih gelar sarjana di bidang Indologie (ilmu tentang
Indonesia) dari Verenigde Vakultaiten Universiteit Leiden, Belanda, pada
1952, Manarfa Ode menjadi sarjana pertama di wilayah Sulawesi Selatan
dan Tenggara.
Empat
tahun kemudian, bersama beberapa rekannya, Manarfa mendirikan
Universitas Hasanuddin. Wa Ode Daawia, istri Manarfa, masih ingat
bagaimana susahnya perjuangan sang suami ketika itu.
Indonesia
baru saja merdeka. Kehidupan serba terbatas dan hanya pulau Jawalah
yang dianggap makmur dan menjadi pusat dari segala kegiatan. Pulau lain
seperti Sulawesi tergolong terbelakang.
Tapi
Manarfa tak mudah menyerah. Ia merogoh kocek sendiri demi suatu
kegiatan yang kurang populer dan kurang komersial ketika itu. Berapa
jumlahnya? Manarfa enggan menjawabnya. "Prinsip saya, jika tangan kanan
memberi, tangan kiri tak perlu tahu," katanya. Sumbangan Manarfa bukan
cuma dana, tapi juga ide. Dialah yang mengusulkan agar Universitas
Hasanuddin, perguruan tinggi terbesar di Sulawesi Selatan itu,
menggunakan gambar ayam jantan sebagai lambang.
Manarfa
bercerita, gambar ayam jago itu tercetus dalam sebuah rapat menentukan
logo Universitas Hasanuddin. "Saya teringat pada perjuangan Sultan
Hasanuddin yang dijuluki 'Ayam Jantan dari Timur' sewaktu mengusir
Belanda dari Makassar," kata Manarfa. Menyadari betapa pendidikan
kemudian membawa Sulawesi melangkah begitu pesat, Manarfa mendirikan
Universitas Sulawesi Tenggara di Kabupaten Buton pada 1960.
Tapi
perguruan tinggi ini terpaksa dipindahkan ke Kendari, seiring dengan
terlepasnya Provinsi Sulawesi Tenggara dari Sulawesi Selatan pada 1964.
Tak tanggung-tanggung, semua fasilitas Universitas Sulawesi Tenggara
yang dibeli Manarfa dengan uang pribadi juga diangkutnya ke Kendari.
Setelah
pindah, Universitas Sulawesi Tenggara berganti nama menjadi Universitas
Haluoleo, dengan status swasta. Status ini baru berubah menjadi
universitas negeri pada 1981, juga karena perjuangan Manarfa. Tetapi
Manarfa bukanlah sosok yang membutuhkan posisi, jabatan, apalagi uang.
Meski
sebagai pendiri ia memiliki peluang yang luar biasa besar untuk menjadi
rektor pertama di Universitas Haluoleo, ia memilih pulang ke Buton dan
lagi-lagi menanam bibit baru.Dia mendirikan Universitas Dayanu
Ikhsanuddin (Unidayan) bersama La Ode Malim pada 1982. Tak hanya menanam
dan menumbuhkan berbagai universitas, Manarfa juga bersemangat
mengajar.
Hingga
saat ini Manarfa tercatat sebagai pengajar sekaligus Rektor Unidayan.
Dialah satu-satunya dosen tertua di antara 930 dosen di empat perguruan
tinggi yang ada di seluruh pelosok Sulawesi Tenggara. Bisa jadi dia
dosen tertua di negeri ini. Sekali dalam sepekan, ia mengajar mata
kuliah pendidikan akhlak dan budaya. Staminanya sungguh luar biasa.
Syahdan,
pada Agustus silam, reporter TEMPO menyaksikan sendiri bagaimana
Manarfa berdiri dan berceramah memberikan kuliah perdana kepada para
mahasiswa baru Unidayan selama tiga jam tanpa henti.
Di
dalam tubuh yang digerogoti 85 tahun kehidupan, toh jiwanya
berkelojotan setiap kali para mahasiswanya berlomba-lomba mengajukan
pertanyaan menyangkut materi perkuliahan yang diberikan. "Orang tua itu
seperti tak pernah kehabisan energi," kata salah seorang koleganya
kepada TEMPO.
Dengan
energi yang luar biasa dan kegiatan pendidikan yang tak berkesudahan
sepanjang hidupnya, Manarfa tak kunjung menggunakan lembaga pendidikan
sebagai lembaga komersial, meski peluang itu sungguh besar. Tak
mengherankan, dia merasa cukup bernaung di sebuah rumah warisan yang
sederhana berisi dua set sofa yang mulai tua, televisi 21 inci, tiga
buah guci yang sudah agak kusam.
Satu-satunya pemandangan yang mencolok di rumahnya adalah ribuan buku
pelbagai tema yang tersusun rapi di rak-rak dan lemari yang menempel di
dinding. Inilah yang menunjukkan bahwa dia seorang pendidik, pemikir
yang hidup di alam ideal.
Dia
bahkan tak memiliki sebuah mobil pun hingga anaknyalah yang harus
meminjamkan kendaraan dan sopir untuk mengantar ayahnya yang sudah renta
itu. Dan di dalam kesederhanaannya itu, Manarfa juga masih menolak
mengambil gajinya sebagai rektor.
Menurut
La Meta, bendahara Universitas Dayanu, setiap akhir bulan ketika
disodori amplop gaji, Manarfa hanya meneken tanda terima lalu
menyerahkan seluruh isinya ke kas universitas. "Ia bertekad menolak gaji
dari Unidayan sampai perguruan tinggi dan semua karyawannya sejahtera,"
kata Meta.
Apa
lagi nama yang bisa kita berikan kepadanya selain Pendekar Pendidikan
dengan api yang menyala-nyala? Tak mengherankan bila senat Universitas
Haluoleo, Sulawesi Tenggara, akhirnya mengganjarnya dengan dua
penghargaan sekaligus, pada 19 Agustus 2002.
Menurut
Rektor Universitas Haluoleo, Mahmud Hamundu, penghargaan itu diberikan
karena Manarfa dianggap sebagai tokoh yang berjasa memajukan pendidikan
di Sulawesi Tenggara, dan mengembangkan Universitas Haluoleo. Toh sang
pendekar bisa rontok oleh stroke.
Manarfa
kini tengah tergolek lemah di atas ranjang ruang gawat darurat Rumah
Sakit Edy Sabara, Kendari, Sulawesi Tenggara. Ketika TEMPO menjenguknya
akhir Oktober silam, bersusah payah ia berusaha menyambut.
Tubuhnya
terlihat lemah. Tetapi sepasang matanya memperlihatkan semangat yang
tak padam. "Sepanjang masih diberi kemampuan oleh Allah, kalau perlu
hingga akhir hayat, saya akan terus mengabdikan diri pada dunia
pendidikan," katanya pada pengujung jam berkunjung. Di ujung tubuhnya
yang sudah kisut, ia masih memberikan nyala pada negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar