Selasa, 16 September 2014

Api yang Menyala di Tubuh Manarfa

Api yang Menyala di Tubuh Manarfa


Di dalam darahnya, bukan hanya ada sungai berwarna biru, tetapi juga ada darah Oemar Bakri, Ki Hajar Dewantara, Montessori, berbaur menjadi sebuah lautan yang dahsyat. Di dalam darahnya, kata pendidikan mengalir ke jantungnya dan menjadi pompa dalam kehidupannya yang kini mencapai 85 tahun. 

Entah apa jadinya dunia pendidikan di Sulawesi Selatan dan Tenggara tanpa nama La Ode Manarfa. Dia menjadi legenda hidup dunia pendidikan tinggi di Sulawesi bukan hanya karena separuh umurnya dihabiskan untuk mendirikan dan mengembangkan kemajuan pendidikan-seperti Universitas Hasanuddin-di daerahnya, tetapi juga karena dialah contoh keturunan bangsawan yang memilih hidup bersahaja dan berkeliling Sulawesi untuk tak henti-hentinya mendirikan universitas bagi rakyat Sulawesi, sekaligus menjadi satu-satunya pengajar tertua yang masih bersemangat memberikan kuliah dalam keadaan tubuh yang renta. 

Lahir di Kulisusu, Kota Madya Baubau, Sulawesi Tenggara, 22 Maret 1917, Manarfa adalah putra tertua Sri Sultan Buton ke-38, La Ode Falihi Qaimuddin Khalifatul Khamis. Sang ibu, Wa Ode Azizah, anak dari Lakina Sorawolio yang masih keturunan Raja Buton I. 

Karena itulah, beberapa orang menganggapnya sebagai sultan terakhir Keraton Buton. Setelah meraih gelar sarjana di bidang Indologie (ilmu tentang Indonesia) dari Verenigde Vakultaiten Universiteit Leiden, Belanda, pada 1952, Manarfa Ode menjadi sarjana pertama di wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara.

 Empat tahun kemudian, bersama beberapa rekannya, Manarfa mendirikan Universitas Hasanuddin. Wa Ode Daawia, istri Manarfa, masih ingat bagaimana susahnya perjuangan sang suami ketika itu.
 Indonesia baru saja merdeka. Kehidupan serba terbatas dan hanya pulau Jawalah yang dianggap makmur dan menjadi pusat dari segala kegiatan. Pulau lain seperti Sulawesi tergolong terbelakang.

 Tapi Manarfa tak mudah menyerah. Ia merogoh kocek sendiri demi suatu kegiatan yang kurang populer dan kurang komersial ketika itu. Berapa jumlahnya? Manarfa enggan menjawabnya. "Prinsip saya, jika tangan kanan memberi, tangan kiri tak perlu tahu," katanya. Sumbangan Manarfa bukan cuma dana, tapi juga ide. Dialah yang mengusulkan agar Universitas Hasanuddin, perguruan tinggi terbesar di Sulawesi Selatan itu, menggunakan gambar ayam jantan sebagai lambang. 

Manarfa bercerita, gambar ayam jago itu tercetus dalam sebuah rapat menentukan logo Universitas Hasanuddin. "Saya teringat pada perjuangan Sultan Hasanuddin yang dijuluki 'Ayam Jantan dari Timur' sewaktu mengusir Belanda dari Makassar," kata Manarfa. Menyadari betapa pendidikan kemudian membawa Sulawesi melangkah begitu pesat, Manarfa mendirikan Universitas Sulawesi Tenggara di Kabupaten Buton pada 1960.

          Tapi perguruan tinggi ini terpaksa dipindahkan ke Kendari, seiring dengan terlepasnya Provinsi Sulawesi Tenggara dari Sulawesi Selatan pada 1964. Tak tanggung-tanggung, semua fasilitas Universitas Sulawesi Tenggara yang dibeli Manarfa dengan uang pribadi juga diangkutnya ke Kendari.

 Setelah pindah, Universitas Sulawesi Tenggara berganti nama menjadi Universitas Haluoleo, dengan status swasta. Status ini baru berubah menjadi universitas negeri pada 1981, juga karena perjuangan Manarfa. Tetapi Manarfa bukanlah sosok yang membutuhkan posisi, jabatan, apalagi uang.

          Meski sebagai pendiri ia memiliki peluang yang luar biasa besar untuk menjadi rektor pertama di Universitas Haluoleo, ia memilih pulang ke Buton dan lagi-lagi menanam bibit baru.Dia mendirikan Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan) bersama La Ode Malim pada 1982. Tak hanya menanam dan menumbuhkan berbagai universitas, Manarfa juga bersemangat mengajar. 

Hingga saat ini Manarfa tercatat sebagai pengajar sekaligus Rektor Unidayan. Dialah satu-satunya dosen tertua di antara 930 dosen di empat perguruan tinggi yang ada di seluruh pelosok Sulawesi Tenggara. Bisa jadi dia dosen tertua di negeri ini. Sekali dalam sepekan, ia mengajar mata kuliah pendidikan akhlak dan budaya. Staminanya sungguh luar biasa. 

Syahdan, pada Agustus silam, reporter TEMPO menyaksikan sendiri bagaimana Manarfa berdiri dan berceramah memberikan kuliah perdana kepada para mahasiswa baru Unidayan selama tiga jam tanpa henti.
 Di dalam tubuh yang digerogoti 85 tahun kehidupan, toh jiwanya berkelojotan setiap kali para mahasiswanya berlomba-lomba mengajukan pertanyaan menyangkut materi perkuliahan yang diberikan. "Orang tua itu seperti tak pernah kehabisan energi," kata salah seorang koleganya kepada TEMPO.
Dengan energi yang luar biasa dan kegiatan pendidikan yang tak berkesudahan sepanjang hidupnya, Manarfa tak kunjung menggunakan lembaga pendidikan sebagai lembaga komersial, meski peluang itu sungguh besar. Tak mengherankan, dia merasa cukup bernaung di sebuah rumah warisan yang sederhana berisi dua set sofa yang mulai tua, televisi 21 inci, tiga buah guci yang sudah agak kusam.

Satu-satunya pemandangan yang mencolok di rumahnya adalah ribuan buku pelbagai tema yang tersusun rapi di rak-rak dan lemari yang menempel di dinding. Inilah yang menunjukkan bahwa dia seorang pendidik, pemikir yang hidup di alam ideal.

 Dia bahkan tak memiliki sebuah mobil pun hingga anaknyalah yang harus meminjamkan kendaraan dan sopir untuk mengantar ayahnya yang sudah renta itu. Dan di dalam kesederhanaannya itu, Manarfa juga masih menolak mengambil gajinya sebagai rektor. 

Menurut La Meta, bendahara Universitas Dayanu, setiap akhir bulan ketika disodori amplop gaji, Manarfa hanya meneken tanda terima lalu menyerahkan seluruh isinya ke kas universitas. "Ia bertekad menolak gaji dari Unidayan sampai perguruan tinggi dan semua karyawannya sejahtera," kata Meta. 

Apa lagi nama yang bisa kita berikan kepadanya selain Pendekar Pendidikan dengan api yang menyala-nyala? Tak mengherankan bila senat Universitas Haluoleo, Sulawesi Tenggara, akhirnya mengganjarnya dengan dua penghargaan sekaligus, pada 19 Agustus 2002.

 Menurut Rektor Universitas Haluoleo, Mahmud Hamundu, penghargaan itu diberikan karena Manarfa dianggap sebagai tokoh yang berjasa memajukan pendidikan di Sulawesi Tenggara, dan mengembangkan Universitas Haluoleo. Toh sang pendekar bisa rontok oleh stroke. 

Manarfa kini tengah tergolek lemah di atas ranjang ruang gawat darurat Rumah Sakit Edy Sabara, Kendari, Sulawesi Tenggara. Ketika TEMPO menjenguknya akhir Oktober silam, bersusah payah ia berusaha menyambut. 

Tubuhnya terlihat lemah. Tetapi sepasang matanya memperlihatkan semangat yang tak padam. "Sepanjang masih diberi kemampuan oleh Allah, kalau perlu hingga akhir hayat, saya akan terus mengabdikan diri pada dunia pendidikan," katanya pada pengujung jam berkunjung. Di ujung tubuhnya yang sudah kisut, ia masih memberikan nyala pada negeri ini.

Sumber :

Api yang Menyala di Tubuh Manarfa


Di dalam darahnya, bukan hanya ada sungai berwarna biru, tetapi juga ada darah Oemar Bakri, Ki Hajar Dewantara, Montessori, berbaur menjadi sebuah lautan yang dahsyat. Di dalam darahnya, kata pendidikan mengalir ke jantungnya dan menjadi pompa dalam kehidupannya yang kini mencapai 85 tahun. 

Entah apa jadinya dunia pendidikan di Sulawesi Selatan dan Tenggara tanpa nama La Ode Manarfa. Dia menjadi legenda hidup dunia pendidikan tinggi di Sulawesi bukan hanya karena separuh umurnya dihabiskan untuk mendirikan dan mengembangkan kemajuan pendidikan-seperti Universitas Hasanuddin-di daerahnya, tetapi juga karena dialah contoh keturunan bangsawan yang memilih hidup bersahaja dan berkeliling Sulawesi untuk tak henti-hentinya mendirikan universitas bagi rakyat Sulawesi, sekaligus menjadi satu-satunya pengajar tertua yang masih bersemangat memberikan kuliah dalam keadaan tubuh yang renta. 

Lahir di Kulisusu, Kota Madya Baubau, Sulawesi Tenggara, 22 Maret 1917, Manarfa adalah putra tertua Sri Sultan Buton ke-38, La Ode Falihi Qaimuddin Khalifatul Khamis. Sang ibu, Wa Ode Azizah, anak dari Lakina Sorawolio yang masih keturunan Raja Buton I. 

Karena itulah, beberapa orang menganggapnya sebagai sultan terakhir Keraton Buton. Setelah meraih gelar sarjana di bidang Indologie (ilmu tentang Indonesia) dari Verenigde Vakultaiten Universiteit Leiden, Belanda, pada 1952, Manarfa Ode menjadi sarjana pertama di wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara.

 Empat tahun kemudian, bersama beberapa rekannya, Manarfa mendirikan Universitas Hasanuddin. Wa Ode Daawia, istri Manarfa, masih ingat bagaimana susahnya perjuangan sang suami ketika itu.
 Indonesia baru saja merdeka. Kehidupan serba terbatas dan hanya pulau Jawalah yang dianggap makmur dan menjadi pusat dari segala kegiatan. Pulau lain seperti Sulawesi tergolong terbelakang.

 Tapi Manarfa tak mudah menyerah. Ia merogoh kocek sendiri demi suatu kegiatan yang kurang populer dan kurang komersial ketika itu. Berapa jumlahnya? Manarfa enggan menjawabnya. "Prinsip saya, jika tangan kanan memberi, tangan kiri tak perlu tahu," katanya. Sumbangan Manarfa bukan cuma dana, tapi juga ide. Dialah yang mengusulkan agar Universitas Hasanuddin, perguruan tinggi terbesar di Sulawesi Selatan itu, menggunakan gambar ayam jantan sebagai lambang. 

Manarfa bercerita, gambar ayam jago itu tercetus dalam sebuah rapat menentukan logo Universitas Hasanuddin. "Saya teringat pada perjuangan Sultan Hasanuddin yang dijuluki 'Ayam Jantan dari Timur' sewaktu mengusir Belanda dari Makassar," kata Manarfa. Menyadari betapa pendidikan kemudian membawa Sulawesi melangkah begitu pesat, Manarfa mendirikan Universitas Sulawesi Tenggara di Kabupaten Buton pada 1960.

          Tapi perguruan tinggi ini terpaksa dipindahkan ke Kendari, seiring dengan terlepasnya Provinsi Sulawesi Tenggara dari Sulawesi Selatan pada 1964. Tak tanggung-tanggung, semua fasilitas Universitas Sulawesi Tenggara yang dibeli Manarfa dengan uang pribadi juga diangkutnya ke Kendari.

 Setelah pindah, Universitas Sulawesi Tenggara berganti nama menjadi Universitas Haluoleo, dengan status swasta. Status ini baru berubah menjadi universitas negeri pada 1981, juga karena perjuangan Manarfa. Tetapi Manarfa bukanlah sosok yang membutuhkan posisi, jabatan, apalagi uang.

          Meski sebagai pendiri ia memiliki peluang yang luar biasa besar untuk menjadi rektor pertama di Universitas Haluoleo, ia memilih pulang ke Buton dan lagi-lagi menanam bibit baru.Dia mendirikan Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan) bersama La Ode Malim pada 1982. Tak hanya menanam dan menumbuhkan berbagai universitas, Manarfa juga bersemangat mengajar. 

Hingga saat ini Manarfa tercatat sebagai pengajar sekaligus Rektor Unidayan. Dialah satu-satunya dosen tertua di antara 930 dosen di empat perguruan tinggi yang ada di seluruh pelosok Sulawesi Tenggara. Bisa jadi dia dosen tertua di negeri ini. Sekali dalam sepekan, ia mengajar mata kuliah pendidikan akhlak dan budaya. Staminanya sungguh luar biasa. 

Syahdan, pada Agustus silam, reporter TEMPO menyaksikan sendiri bagaimana Manarfa berdiri dan berceramah memberikan kuliah perdana kepada para mahasiswa baru Unidayan selama tiga jam tanpa henti.
 Di dalam tubuh yang digerogoti 85 tahun kehidupan, toh jiwanya berkelojotan setiap kali para mahasiswanya berlomba-lomba mengajukan pertanyaan menyangkut materi perkuliahan yang diberikan. "Orang tua itu seperti tak pernah kehabisan energi," kata salah seorang koleganya kepada TEMPO.
Dengan energi yang luar biasa dan kegiatan pendidikan yang tak berkesudahan sepanjang hidupnya, Manarfa tak kunjung menggunakan lembaga pendidikan sebagai lembaga komersial, meski peluang itu sungguh besar. Tak mengherankan, dia merasa cukup bernaung di sebuah rumah warisan yang sederhana berisi dua set sofa yang mulai tua, televisi 21 inci, tiga buah guci yang sudah agak kusam.

Satu-satunya pemandangan yang mencolok di rumahnya adalah ribuan buku pelbagai tema yang tersusun rapi di rak-rak dan lemari yang menempel di dinding. Inilah yang menunjukkan bahwa dia seorang pendidik, pemikir yang hidup di alam ideal.

 Dia bahkan tak memiliki sebuah mobil pun hingga anaknyalah yang harus meminjamkan kendaraan dan sopir untuk mengantar ayahnya yang sudah renta itu. Dan di dalam kesederhanaannya itu, Manarfa juga masih menolak mengambil gajinya sebagai rektor. 

Menurut La Meta, bendahara Universitas Dayanu, setiap akhir bulan ketika disodori amplop gaji, Manarfa hanya meneken tanda terima lalu menyerahkan seluruh isinya ke kas universitas. "Ia bertekad menolak gaji dari Unidayan sampai perguruan tinggi dan semua karyawannya sejahtera," kata Meta. 

Apa lagi nama yang bisa kita berikan kepadanya selain Pendekar Pendidikan dengan api yang menyala-nyala? Tak mengherankan bila senat Universitas Haluoleo, Sulawesi Tenggara, akhirnya mengganjarnya dengan dua penghargaan sekaligus, pada 19 Agustus 2002.

 Menurut Rektor Universitas Haluoleo, Mahmud Hamundu, penghargaan itu diberikan karena Manarfa dianggap sebagai tokoh yang berjasa memajukan pendidikan di Sulawesi Tenggara, dan mengembangkan Universitas Haluoleo. Toh sang pendekar bisa rontok oleh stroke. 

Manarfa kini tengah tergolek lemah di atas ranjang ruang gawat darurat Rumah Sakit Edy Sabara, Kendari, Sulawesi Tenggara. Ketika TEMPO menjenguknya akhir Oktober silam, bersusah payah ia berusaha menyambut. 

Tubuhnya terlihat lemah. Tetapi sepasang matanya memperlihatkan semangat yang tak padam. "Sepanjang masih diberi kemampuan oleh Allah, kalau perlu hingga akhir hayat, saya akan terus mengabdikan diri pada dunia pendidikan," katanya pada pengujung jam berkunjung. Di ujung tubuhnya yang sudah kisut, ia masih memberikan nyala pada negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar